Wednesday, October 5, 2016

RENIKAH

RENIKAH

Di semenanjung hati, aku telah menyimpan luka yang begitu dalam sejak menikahi Dina, seorang Guru PNS cantik, pandai dan rumit. Aku tak pernah menyangka bila pernikahan ini berpeluh duka, menyiksa batin dan membelah cinta. Ternyata duri mawar lebih sakit dari jarum. Walaupun sagu tidak lebih baik dari gandum.


Inilah hari pertamaku mengenal keluarga Dina setelah lima bulan lamanya menjalin hubungan pacaran. Aku menganggapnya suatu hal yang istimewa bisa bertatap sapa dengan mereka meski hubungan kami bisa dibilang masih seumur jagung. Awalnya memang aku yang meminta supaya Dina memperkenalkan aku dengan orangtuanya. Karena antara aku dan Dina memang sering bicara seius dan terbuka. Lagipula aku tak ingin berlama-lama dengan kesendirian, aku ingin melepas masa lajang secepatnya dan segera melamar Dina, putri bungsu satu-satunya yang tinggal di rumah itu.



Meskipun Dina terlahir dalam keluarga kaya, tapi aku tak pernah merasa minder menghadapi rumpun darah biru. Aku selalu netral dalam menghadapi setiap kasta yang berbeda-beda. Apalagi aku tidak pernah memandang harta sebagai suatu jaminan kebahagiaan. Bukan berarti juga bahwa harta itu tidak penting, namun keduanya punya makna yang berseberangan dan tidak bisa kuterima sebagai landasan yang sejalan. Tapi, entah kenapa, pola pikir orangtua Dina berbalik menyerangku dengan alasan bahwa tujuan utamaku adalah untuk mengincar dan mengeruk harta keluarga mereka. Ditambah lagi sebuah prinsip bahwa seorang PNS merupakan salah satu penguasa kemapanan, sehingga aku seringkali dicap sebagai parasit bagi Dina. Ya, aku memang sangat mencintai Dina. meskipun kutau hatinya masih mendua dalam menentukan pilihan. Secara sepihak Dina berusaha membalas perjuanganku untuk mendapatkannnya. Namun disatu sisi, dia juga tidak bisa mengesampingkan amanah orangtuanya sendiri yang selalu membatasi hubungan ini karena statusku hanya seorang honorer.

Aku sempat berpikir, bukankah seorang guru honor juga punya kesempatan yang sama untuk menggapai cita dan cintanya? Lalu kenapa harus ada diskriminasi harta dan status, pekikku.
Seyogianya, rasa kesal itu kusembunyikan dari raut wajahku, berharap suatu hari nanti mereka sadar bahwa aku, Glen, adalah seorang pria yang bertanggungjawab dan pantang mundur. Sungguh awal pertemuan yang menyesakkan, tambahku.

Berbulan-bulan kulewati pagar diskriminasi tanpa meningglkan rasa sakit hati yang membekas pada perasaan orangtua Dina. Senyumku bebas tanpa memelas. Berkali-kali aku berusaha membangun sebuah kepercayaan kepada orangtuanya bahwa aku sungguh mencintai Dina tanpa syarat. Sekalipun Dina masih separuh hati menentang pola pikir orangtuanya sendiri. Tapi, aku tak ingin memaksa Dina supaya berpihak kepadaku, aku tau dia seorang wanita yang punya prinsip, utara atau selatan. Jika utara membawa hawa kebencian, baik dia meninggalkan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa selatan bisa menyemburkan emosi pertengkaran dan itu juga membahayakan.

Menurut orangtuaku, tindakanku konyol. Entah kenapa Dina begitu penting untuk kupertahankan. Padahal orangtua Dina sudah jelas-jelas menelanjangi kehormatan keluargaku dengan materi. Aku pikir itu adalah suatu pembatasan supaya aku mengurungkan niat untuk menikahi putrinya. Bagaimana mungkin buat seorang yang miskin sepertiku harus menyanggupi mahar tiga ratus juta? Aku kira itu hanya lelucon awalnya, namun keseriusan mereka tampaknya bukan main-main. Syarat itu harus aku penuhi sebelum menikahi Dina. Ya, tiga ratus juta bukanlah uang yang sedikit bagi keluargaku. Bahkan semua aset yang dimiliki orangtuaku saja pun tidak cukup untuk melunasi mahar tersebut. Kini lawanku bukan hanya orangtua Dina, melainkan mempertahankan keinginan dan tanggungjawabku sendiri.

Dina tau masalah itu. Dia sengaja memberikan ruang keterbukaan yang luas untuk menemukan solusi yang tepat atas kemelut cinta yang sedang kuhadapi saat ini. Dan itu membuktikan bahwa Dina memang seorang wanita yang cukup transparan pada awalnya. Dia menyarankan agar aku lebih berusaha menyanggupi mahar yang diminta orangtuanya dengan cara meminjam dari rentenir, dengan catatan bahwa setelah menikah, Dina rela menggadaikan Sk-nya untuk melunasi sebagian utang itu. Tapi, apakah lidah berguna tanpa ludah? Mulut wanita memang manis.

Aku bahagia sesaat menikahi Dina, walau harus pontang-panting mengutang uang kesana-kemari. Oleh karena itu, pernikahan adalah sakral yang tidak bisa diceraikan oleh manusia sampai maut menjemput. Begitulah aku menyebutnya setia dan tanggungjawab. Namun mirisnya, hakku sebagai suami tak bisa kudapat pada malam pertama. Dina justru mengacuhkanku seperti boneka, tak menggubris sama sekali. Atau barangkali Dina memang tidak punya mood malam tu, pikirku. Aku bisa maklum, mungkin oranglain juga pernah mengalami kejadian yang sama sepertiku, tambahku.
Tapi, apa yang terjadi?
Aku nyaris seperti orang bodoh.
Perlakuan itu aku jalani sampai sepuluh tahun terakhir. Bayangkan saja, satu windu lebih lamanya aku merindukan keintiman dari istriku sendiri yang sama sekali tidak ingin disentuh olehku. Lantas, apa arti pernikahan ini, tanyaku membodoh. Entah setan apa yang betengger diotakku waktu itu sampai pada suatu titik, kegilaanku tak bisa kubendung lagi. Aku hampir frustasi dibawah tekanan biologis dan psikis seperti ini.

Kuakui, langsung dihadapan istriku sendiri, Dina, aku menyetubuhi seorang perempuan unduhan yang kusantroni dari facebook. Aku tak sempat lagi berpikir tentang perasaan Dina yang menyaksikan kesundalanku dengan wanita berumur seperempat abad itu tanpa pemberontakan. Sebenarnya aku ingin menangis, meratapi betapa kotor dan berdosanya jiwaku yang hampir mati. Tapi, itu semua aku lakukan bukan semata-mata mengucilkan harkat dan martabat seorang wanita. Justru apa yang kulakukan karena upaya berpikirku sudah mentok. Jujur, aku tak ingin hidup dalam kesendirian dan memutus rantai keturunanku sendiri. Lalu pertanyaannya, apakah yang kulakukan itu sengaja? Benar, aku memang kesal dengan sikap sombong Dina yang tidak mau bersetubuh denganku tanpa alasan yang pasti. Malah, utang biaya pernikahan tempo hari tak pernah ditepatinya dan harus kutanggung sendiri.

Hingga kini, Jeni, putri seributanyaku sudah berumur dua tahun. Aku dan Dina masih serumah, tapi hidup dalam kebebasan kami masing-masing. Aku lebih banyak mengurus putriku sendiri ketimbang mengkhawatirkan Dina yang semakin sering pulang larut malam. Memang, semenjak dia tau bahwa Jeni anak yang berasal dari perempuan bayaran itu, dia semakin sering hoga-hoga dengan dunia malam. Aku selalu melihatnya pulang dengan kondisi yang berantakan, berjalan sempoyongan, bahkan kerap muntah di lantai. Aku tak pernah mempermasalahkan kejadian itu, karena tak sekalipun aku melihatnya pulang dengan lelaki lain.

Lama kutatap wajah istriku, Dina. Sepertinya aku merasakan sebuah penyesalan yang menyeruak dibalik wajah yang memerah. Kerutan di dahinya ingin mengucapkan suatu rahasia yang lama terpendam di lubuk hatinya. Tapi aku heran, kenapa Dina harus melakukan semua ini kepadaku? Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah setelah menikah? Apa mungkin Dina seorang yang abnormal? Pertanyaan itu selalu membayangi pikiranku sepanjang malam. Setidaknya aku bersyukur malam itu kalau Dina tidak sadar diri, karena saat-saat seperti inilah aku bisa memeluk dan mencium kening istriku sendiri, walaupun hanya sesekali. Sampai kapanpun, Jeni dan Dina adalah wanita istimewa yang sudah Tuhan berikan kepadaku meskipun kini tak satupun dari pihak keluarga Dina peduli dengan masalah yang kuhadapi, begitu pula dengan keluargaku sendiri yang telah mengacuhkan aku bersama seribu kedurhakaan.

Diluar dugaan, tiba-tiba aku memperoleh SK PNS setelah beberapa tahun meniti honorer K2. Aku tak menyangka bahwa harapan yang selama ini kuimpikan akhirnya terwujud. Dengan harapan mertuaku tidak lagi memandangku sebelah mata. Sungguh kehidupan ini ibarat sebuah film, yang kita tidak akan tahu akhir sebuah cerita bila kisahnya belum usai. Mungkin itulah salah satu prinsip yang selalu kujaga penuh dalam mengarungi setiap permasalahan yang terjadi dalam hidupku. Buktinya, setelah Jeni berumur empat tahun, Dina sadar dan menyesali perlakuannya yang selama ini membingungkanku. Meskipun begitu, aku tidak ingin meretas kelemahan dan kesalahan istriku sendiri. Karena yang terpenting buatku adalah kehidupan yang bahagia dan berharga di mata Tuhan bersama istri dan anak-anakku, hanya itu. Sampai saat ini, Dina, istriku, sudah menghadiahkan tiga orang anak, dua putra dan satu putri yang ayu dan tampan. Bahkan, lebih menyayangi Jeni, putri yang membawa berkat. Kedua belah pihak orangtua kami pun sudah berangsur lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Namun, masih panjang lagi perjalanan yang harus kami lalui dalam mengarungi bahtera rumah tangga ini dengan segelumit permasalahan yang akan datang menerpa, tak satupun dari kami yang tau. Tapi, aku percaya bahwa Tuhan itu selalu baik, meski langit bertambah tua.

Selesai

Go to link Download